1. Jika ada dua orang yang mengumandangkan adzan, maka yang didahulukan di antara keduanya adalah yang paling memenuhi kriteria yang mu’tabar, seperti mendahulukan yang paling keras suaranya. Jika keduanya memiliki kesamaan kemampuan berbagai aspek maka dilakukan undian pada keduanya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا
Seandainya manusia mengetahui apa (kebaikan) yang terdapat pada adzan dan shaf awal, lalu mereka tidak akan mendapatkannya kecuali dengan cara mengundi, niscaya mereka akan melakukannya. (HR. Bukhari, Muslim dari Abu Hurairah)
2. Tidak dikumandangkan adzan dan iqamah untuk satu shalat sunnah pun, tidak untuk shalat iedain (shalat idhul adha dan idul fithri), shalat istisqa, shalat khauf, dan tidak juga shalat jenazah. Hanya saja untuk shalat kusuf muadzdzin mengucapkan, “Ash-Shalatu Jama’ah”. Ada pun untuk shalat iedain, tarawih, dan yang semisalnya maka tidak ada satu seruan pun di dalamnya,
3. Dalam kondisi yang teramat dingin atau hujan deras, hendaklah muadzdzin mengucapkan “Ala Shallu fi Rihalikum” setelah mengucapkan “Hayya Alal Falah”.
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ ثُمَّ قَالَ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ ذَاتُ بَرْدٍ وَمَطَرٍ يَقُولُ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ
Bahwa Ibnu ‘Umar pernah mengumandangkan adzan pada suatu hari yang dingin dan berangin. Kemudian ia berkata, “Shalatlah di tempat tinggal kalian.” Ia melanjutkan perkataannya, “Jika malam sangat dingin dan hujan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan seorang mu’adzin untuk mengucapkan: “Hendaklah kalian shalat di tempat tinggal kalian.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasa’i)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَلَا تَقُلْ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قُلْ صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ قَالَ فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُخْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ
Dari Abdullah bin Abbas dia mengatakan kepada muadzinnya ketika turun hujan, jika engkau telah mengucapkan “Asyhadu an laa ilaaha illallaah, asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, ” maka janganlah kamu mengucapkan “Hayya alash shalaah, ” namun ucapkanlah shalluu fii buyuutikum (Shalatlah kalian di persinggahan kalian).” Abdullah bin Abbas berkata; “Ternyata orang-orang sepertinya tidak menyetujui hal ini, lalu ia berkata; “Apakah kalian merasa heran terhadap ini kesemua? Padahal yang demikian pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku. Shalat jum’at memang wajib, namun aku tidak suka jika harus membuat kalian keluar sehingga kalian berjalan di lumpur dan comberan.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud)
4. Apabila muadzdzin terlambat mengumandangkan adzan, maka ia diperbolehkan mengumandangkannya apa bila waktu terlambatnya itu hanya sedikit. Sedang apabila waktu tersebut berlangsung cukup lama dan telah dikumandangkan adzan di negeri tersebut dan juga orang-orang telah mengetahui masuknya waktu, maka yang lebih utama seorang muadzdzin tidak beradzan, supaya orang-orang tidak dibuat bingung. Kecuali jika masjid tersebut adalah masjid satu-satunya yang dijadikan patokan oleh orang-orang dan belum ada seorang pun yang beradzan di dalamnya, maka disyariatkan suara ditinggikan, dan hal itu tidak mengapa dilakukan karena tidak ada hal yang membingunkan di dalamnya. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah)
Penulis: KH. Sudirman, S.Ag.
(Tokoh Muhammadiyah dan Pembina Yayasan Tajdidul Iman)