- Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sahabat-sahabat kami berkata, ‘Dan dianjurkan bagi setiap orang yang mendengarkan adzan untuk mengikuti apa yang diucapkan oleh muadzdzin, baik yang suci maupun yang berhadats, yang junub atau pun yang haidh, yang besar atau pun yang kecil, karena ia adalah dzikir dan mereka semua itu adalah ahli dzikir. Dan dikecualikan dari urusan ini adalah orang yang sedang shalat, sedang buang hajat dan berjima’. Maka apabila ia telah usai buang hajat, maka barulah ia menjawabnya. Bagi yang mendengaran adzan disaat ia mengaji, berdzikir, belajar, dan semisalnya, maka hendaklah ia menghentikan aktifitasnya dan mengikuti ucapan muadzdzin, kemudian ia kembali pada aktifitasnya semula jika ia mau. Dan jika ia sedang menunaikan shalat fardhuatau shalat sunnah, Imam asy-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya berpendapat, ‘Ia tidak boleh mengikutinya, maka apabila ia telah selesai darinya barulah ia mengucapkannya.’” (Al-Majmu’ [3/118])
Adapun hukum mutaba’ah (mengikuti apa yang diucapkan oleh muadzdzin). Maka mayoitas ahli ilmu berpendapat bahwa hal itu hukumnya sunnah. Sedang sebagian ahli Zhahirberpendapat bahwa mutaba’ah adalah wajib, bahwa bagi yang mendengarkan muadzdzin mengumandangkan adzan maka ia wajib mengucapkan apa yang diucapkan muadzdzin. - Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang masuk masjid dan mendengar adzan, maka dianjurkan menunggu muadzdzin selesai adzan dan menjawab seruan adzan seperti yang diucpkan muadzdzin. Kedua hal tersebut dilakukan agar dapat menggabungkan dua fadhilah dari keduanya. Jika tidak mengucapkan seperti yang diucapkan oelh muadzdzin dan langsung melakukan shalat, maka hal itu juga diperbolehkan. Ahmad mencantumkan riwayat seperti ini.” (Al-Mughni [I/276-277)
Aku berkata: Hal ini tidak bermakna, bahwa bagi siapa saja yangmendengarkan adzan disaat sendang berdiri dianjurkan untuk tetap berdiri. Dalam artian, jika seseorang sudah berada di dalam masid lalu bediri karena suatu keperluan tertentu kemudian di saat berdirinya itu muadzdzin mengumandangkan adzan maka ia diperbolehkan duduk. Adapun orang yang baru masuk masjid maka hendaklah ia berdiri sampai muadzdzin menyelesaika adzannya agar ia berkesempatan mengkuti adzannya muadzdzin tersebut, kemudian melakukan masjid tahiyyatul masjid atau shalat-shalat sunnah lainnya. - Ketika muadzdzin mengucapkan ‘Ash-Shalatu Khairum Minan Naumi’ maka pendengar hendaknya mengulangi lafazh tersebut dengan mengucapkan seperti yang diucapkan oleh muadzdzin yaitu ‘Ash-Shalatu Khairum Minan Naumi’, berdasarkan dengan keumuman hadits tentang itu, yaitu, “Maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh muadzdzin.” Andapun ungkapan-ungkapan lainnya seperti ucapan mereka, “Shadaqta wa Bararta (Engkau benar dan telah berbuat kebajikan)” atau yang semisalnya, maka tidak satu dalil pun yang dapat dijadikan sebagai sandaran atasnya. Begitu juga halnya dengan masalah pengulangan (tarji’), maka pendapat yang unggul bahwa pendengar juga mesti mengikuti muadzdzin ketika ia melakukan tarji’ berdasarkan dengan keumuman hadits tersebut.
Penulis: KH. Sudirman, S.Ag.
(Tokoh Muhammadiyah dan Pembina Yayasan Tajdidul Iman)