1. Jika imam telah bersama mereka di dalam masjid, maka disunnahkan untuk tidak berdiri hingga melihat imam, baik iqamah sudah dikumandangkan maupun belum. Demikian pendapat jumhur ulama. Ini berdasarkan hadits Abu Qatadah radhiyalahu anhu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَقُومُوا حَتَّى تَرَوْنِي
“Jika iqamah telah dikumandangkan maka janganlah berdiri hingga kalian melihat aku.” (HR. Bukhari, Muslim)
2. Jika imam bersama mereka di dalam masjid, menurut madzhab Asy-Syafi’i dan mayoritas ulama, mereka (makmum) tidak bangkit kecuali setelah selesai iqamah. Malik berpendapat, mereka berdiri ketika muadzdzin mulai mengumandangkan iqamahnya. Ahmad berpendapat, mereka berdiri ketika mudzdzin mengucapkan: Qad qamatidh shalah. Sementara Abu Hanifah berpendapat, mereka berdiri ketika muadzdzin mengucapkan: Hayya alash shalah. (Syarh Muslim karya An-Nawawi [III/840-Qal’aji)
Sebagian ulama berpendapat: Mereka tidak berdiri kecuali setelah melihat imam sudah berdiri. Sebab bangkitnya imam menuju tempat imam semakna dengan keluarnya imam kepada jamaahnya. Pendapat ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: Maka janganlah kalian bangkit berdiri hingga melihatku.” Wallahu a’lam.
Catatan: Sebagian ulama sekarang berpendapat tidak disyariatkannya mengumandangkan iqamah dengan pengeras suara untuk diperdengarkan kepada orang-orang yang ada di luar masjid. Perndapat ini mereka nisbatkan kepada Syaikh Al-Albani rahimahullah. Mungkin alasan pendapat ini bahwa iqamah adalah pengumuman untuk memulai shalat. Bukan pemberitahuan masuknya waktu shalat, bersiap-siap untuknya, dan panggilan untuk mengerjakan shalat seperti halnya adzan. Anmun demikian, sebenarnya tidak ada larangan memperdengarkan iqamah untuk orang-orang yang berada di luar masjid. Bahkan dalah hadits shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bahwa ia mendengar suara iqamah saat berada di Baqi’, lalu ia bergegas menuju ke Masid. (Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh asy-Syafi’i sebagaimana tertera dalam Musnad-nya [183-Syifa’ al-‘Aiy])
Penulis: KH. Sudirman, S.Ag.
(Tokoh Muhammadiyah dan Pembina Yayasan Tajdidul Iman)